Sabtu, 10 April 2021

Laporan Bacaan: Kultur Sekolah (Magang 1) #uno

Sekolah Berseragam VS Tidak Berseragam 

oleh: Muhammad Rifqi (11901150) 

PAI 4B FTIK IAIN Pontianak 2021

Bacaan saya pada minggu ini adalah mengenai Kultur Sekolah. Pada laman bertajuk “UNIFORMS VS. FREE DRESS: BOTH HAVE ISSUES” yang dilansir di situs berbahasa inggris (Sobat bisa kunjungi situsnya di sini -> https://parentology.com/uniforms-vs-free-dress-both-have-issues/ ) membahas bahwa baik sekolah yang bersaragam maupun yang berpakaian bebas, masing-masing memiliki masalah tersendiri. Pada laman blog ini, saya akan mengulas bagaimana sudut pandang saya dalam memandang masalah ini dengan 100% opini saya dan sebisa mungkin saya akan bersifat objektif serta menghindari copy-paste.

 


Dari paragraf pertama yang dilansir, ternyata di Amerika Sendiri memilki masalah tersendiri ketika public school mereka membuat aturan bebas berpakaian ke sekolah. Ketika sebuah daerah mengubah kebijakan sekolah mereka yang awalnya mempunyai aturan berseragam pada setiap hari sekolahnya bagi para pelajar, tiba-tiba aturan tersebut dicabut dan para pelajar dari setiap lembaga sekolah memiliki kebebasan untuk berpakaian bebas ke sekolah. Bagi sebagian pihak, mungkin hal ini tidak terlalu berpengaruh kepada kondisi ekonomi maupun sosial yang mereka hadapi namun sebagian orang hal ini akan memengaruhi kondisi finansial yang mereka hadapi sebagai suatu masalah yang harus mereka selesaikan sendiri.

Misalnya di Indonesia kita terapkan bersekolah tanpa seragam, para pelajar mungkin banyak yang menerima aturan tersebut dan mungkin banyak pula yang menolak dengan berbagai alasan tersendiri. Menurut saya, pihak pertama yang akan mendapatkan masalah dan dampak dari aturan atau kebijakan ini (pen, sekolah tanpa seragam) adalah pihak industri pakaian atau seragam sekolah. Setiap masuk awal tahun ajaran baru, para orang tua biasanya sudah sibuk untuk membeli seragam sekolah untuk anak-anak mereka yang mana hal tersebut sudah sangat lumrah terjadi di Negara kita. Hal ini tentunya sangan menguntungkan pihak industry pakaian atau seragam sekolah. Namun, apa yang akan terjadi pada industri tersebut jika aturan berseragam ke sekolah dicabut? Mungkin solusi yang akan mereka ambil adalah memproduksi jenis pakaian yang berbeda atau mungkin mereka akan beralih dari memproduksi seragam sekolah kepada pakaian atau gaun pengantin. Who knows?




Dari semua sekolah di Indonesia, saya berasumsi bahwa 100% sekolah Negeri di Indonesia menggunakan seragam ke sekolah. Para pelajar pada umumnya di Indonesia dan Negara-negara di asia lainnya sudah sangat dikenal dengan aturan seragam yang sangat ketat. Hal ini ternyata dipandang baik oleh sebagian cendikiawan dari Negara asing seperti di Amerika yang menganggap bahwa hal tersebut adalah sebagai penyetaraan antar siswa sehingga tidak ada kasta diantara terutama kesenjangan sosial dan ekonomi yang kerap terjadi antar pelajar. Hal ini mungkin yang menjadi salah satu faktor mengapa sampai sekarang budaya berseragam di Indonesia masih dijaga.


Benarkah bahwa seragam sekolah itu lebih mahal dari pada baju biasa? Tidak juga. Sebgain pihak di Amerika Serikat yang mendukung untuk tidak berseragam kesekolah adalah dengan alasan bahwa School Uniforms atau seragam sekolah mengeluarkan biaya yang lebih mahal atau dalam tanda kutip “lebih mahal” dari pada regular clothes atau baju bisa. Well, kita bandingkan di Indonesia, hal ini mungkin akan berbading terbalik. Ibu-ibu di Indonesia yang saya kenal pada umunya akan berusaha mencarikan seragam sekolah bekas kerabat yang mereka kenal dan mereka akan meminta seragam sekolah bekas kerabat mereka dan mereka berikan kepada anaknya untuk dipakai ke sekolah. Jadi, bagaimana tanggapan sobat mengenai berseragam kesekolah? Apakah sobat sekalian pernah memakai seragam sekolah bekas? Kasih tau di kolom komentar ya. 
 
Selama berselancar di dunia maya untuk mencari topik-topik mengenai pro dan kontra mengenai berseragam ke sekolah, saya membaca banyak sekali komentar-komentar menarik dari warganet mengenai isu ini, salah satunya adalah sebagai berikut.

 

“berseragam kesekolah bukanlah sebuah hal yang bagus serta hal tersebut sangat membuatku tidak nyaman karena para pelajar sering berkeringat ketika di dalam bis dan membuat seragam yang dikenakan menjadi terlihat tidak bagus serta kebanyakan seragam sekolah sangat sulit untuk di setrika. Parahnya, menteri pendidikan memaksa kita untuk berseragam sengan sempurna dan hal itu sangat mengecewakan” ~ Antonio Dorifto

Begitulah salah satu tanggapan warganet yang tidak setuju dengan peraturan berseragam ke sekolah. Saya pribadi selama 12 tahun bersekolah dari kelas 1 jenjang Sekolah Dasar hingga kelas 12 jenjang Sekolah Menegah Atas, saya selalu berseragam karena seperti yang kita tau memang di Indonesia sangat akrab dengan yang namanya seragam, baik di sekolah, tempat kerja maupun ikatan instansi lainnya. Hal ini sebetulnya bertujuan mulia yaitu menyeragamkan, karena itulah gunakan seragam bukan?

Namun tidak selamanya niat baik berbuahkan hal yang baik pula. Tujuan seragam sebenarnya sanat lah mulia. Kita diajarkan untuk saling memandang sama antar golongan status sosial dan ekonomi terhadap orang lain. Hal ini tentu mengajarkan kita bahwa apapun suku, ras, agama dan satus sosial seorang pelajar, mereka tetap diperlakukan setara dengan adanya seragam sekolah hal tersebut lebih menekankan tentang arti dari kesetaraan tersebut. Hanya saja, tidak selamanya seragam bisa jadi alternative untuk melambangkan kesetaraan. Seragam anak yang kaya pada umunya pasti akan terlihat lebih baru dibanding seragam anak yang kurang mampu, hal ini kerap menjadi isu tersendiri diantara pelajar.

Sobat taukah apa yang membuat Finlandia dinobatkan sebagai Negara dengan pola kurikulum terbaik di dunia?


Negara yang dikenal sebagai penemu Nokia ini ternyata tidak menggunakan aturan berseragam ke sekolah.


Namun, hal ini tentusaja tidak bisa kita jadikan barometer untuk semua Negara yang mengharuskan pelajarnya menggunakan seragam ke sekolah karena masing-masing Negara memiliki kultur dan budaya tersendiri.

Bagi saya sebagai warga Negara Indonesia, kebijakan berseragam kesekolah tidak sepenuhnya salah. Hal ini sebetulnya cukup menguntungkan bagi para pelajar karena mereka tidak harus memerlukan waktu yang lama untuk memilih pakaian apa yang hendak mereka kenakan untuk sekolah karena sekolah mereka memiliki seragam. Lain halnya jika kita ke sekolah menggunakan baju bebas.

Sebagian dari kita mungkin takut dipandang sinis jika berpakaian yang kurang bagus sementara teman-teman kita yang lainnya bisa mengenakan baju yang bermerk serta berasal dari brand yang terkenal dan kita sendiri hanya bisa mengguanakan baju murah yang dijual di pasar. Saya sangat bersyukur kita bisa tinggal di Indonesia karena sekolah kita pasti berseragam dan hal itu tidak menyita perhatian kita untuk lebih banyak belajar dibanding hanya harus fokus terhadap hal yang kurang penting seperti dalam pemilihan pakaian misalnya. Kita pasti akan merasa nyaman saat semua teman-teman kita menggunakan pakaian yang sama seperti yang kita kenakan ketika kesekolah sehingga hal tersebut dapat membawa kita kepada persatuan dan kerukunan dalam berteman.

Mengenai Kultur berseragam Ke Sekolah yang saya tau bahwa budaya ini sudah ada di Indonesia sejak masa Orde Baru karena Ibu saya lahir dimasa orde baru. Saya masih ingat bahwa ibu saya bercerita bahwa waktu kecil orang tuanya kerja bating tulang agar dirinya dan adik-adiknya bisa punya seragam sekolah, sepatu dan Tas. mereka sangat antusias ketika musim sekolah tiba. Ibu saya memiliki 5 saudara yang semua adik-adiknya termasuk dirinya bisa menyelesaikan sekolah sampai tingkat SMA bahkan adiknya yang ke 4 bisa sampai jadi Sarjana.

Perkembangan buda berseragam ke sekolah tidak selamanya selalu sama. dulu anak SMP & SMA mengenakan celana & rok pendek ke sekolah dan hal itu sekarang sudah berubah. Dengan Rahmat Allah Indonesia sudah menjadi lebih baik. Para muslimah bisa mengenakan hijab ke sekolah sehingga hal tersebut lebih dekat kepada penegakan Hak Asasi dan kebebasan menjalani agama masing-masing.

Jika membaca komentar warganet luar negeri mengenai Pro dan Kontra mengenai berseragam ke sekolah, kita akan mendapati alasan yang sama-sama kuat dan patut untuk dipertimbangkan. Masing-masing dari mereka memiliki alasan tersendiri dengan kondisi dan permasalahan yang mereka hadapi mengenai etika berpakaian ke sekolah.

 

“mereka semua memiliki poin yang penting pada opini atau komentar meraka dan tampaknya di zaman sekarang sekolah lebh memandang siswa dari segi penampilan, pakaian maupun seragam mereka dibanding kemampuan akademik yang mereka miliki”

Saya sepenuhnya setuju dengan komentar tersebut. Akan tetapi hal lain yang mungkin bisa kita pertimbangkan mengenai pro dan kontra berseragam ke sekolah adalah warga Negara kita sendiri mengingat topik seperti ini sangat jarang diangkat di media Negara kita, hal ini mungkin karena bagi sebagian kita tidak terlalu menanggapi hal-hal seperti ini sehingga tidak ada salahnya bagi saya bukan untuk membicarakan mengenai hal ini?.

Negara kita sangat memandang penampilan dan etika. Oleh karena itu, mungkin dengan berseragam kesekolah adalah solusi yang tepat demi menjaga para pelajar agar tetap berpakaian sopan saat keluar rumah. Hal ini bisa dijadikan momen latihan bagi mereka untuk senantiasa berpenampilan rapi dan bersih.

Jika kalian sudah membaca sampai ke paragraf ini, mungkin kalian juga perlu tau tentang pengalaman saya selama bersekolah dan kursus bahasa inggris. Alasan saya ingin menceritakan hal tersebut adalah dua momen tersebut terjadi yang mana salah satunya saya bisa melepas seragam.

Ketika duduk di bangku MTs, orang tua saya meminta saya untuk mengikuti kursus bahasa inggris selama tiga tahun yang mana saya harus berbaur dengan banyak remaja di luar sana yang berlatar belakang suku dan agama yang berbeda dari saya. Tidak seperti disekolah saya yang semuanya berbudaya dan beragama yang sama, ditempat kursus, saya mendapatkan banyak teman yang berasal dari etnis Tionghoa yang mana etika dalam berpakaian meraka cukup berbeda dengan yang biasanya etnis saya, melayu gunakan. Disitu kami berpakaian biasa, tidak ada seragam khusus dan tidak menggunakan sepatu. Selama tiga tahun saya berbaur dengan mereka yang berasal dari sekolah yang berbeda-beda.

Sejujurnya, tidak memakai seragam juga ada keunikan tersendiri. Masing-masing dari kita bisa mengekspresikan diri sesuai latar belakang kita masing-masing. Seperti saya yang sangat menyukai warna hitam, maka saya selalu memilih baju yang berwarna hitam ketika mau pergi kursus dan begitu pula teman-teman saya yang lainnya yang menyukai warna yang berbeda, mereka juga selalu memakai baju dan jaket dengan warna favorit mereka.

 

Jadi? Bagaimana pendapat sobat sekalian? Apakah berseragam kesekolah adalah kebijakan terbaik untuk negara kita serta harus selalu dipertahankan? Ataukah sobat sobat sekalian memiliki pendapat yang bersebrangan mengenai hal tersebut? Tinggalkan jejak di kolom komentar ya.
 

Daryl Brown, a suicide survivor


South Africa has the 8th highest suicide rate in the world. On average, 18 men commit suicide daily in south Africa. This according to Daryl Brown, a suicide survivor and member of the South African Depression and Anxiety Group.

He says there are over 230 serious suicide attempts per month in this country.

Speaking to CapeTalk's Kieno Kammies, Brown says there is a lot of pressure put on South African men to be at their best as providers and head of families.

Sometimes it feels like you can't handle it...

Daryl Brown, suicide survivor

Brown also spoke about his own experiences and why he felt that suicide was his only way out.

I just felt exhausted, I was tired of waiting for this day when everything would be OK when

 

I'd feel competent and it felt like that day was never going to come. I really didn't see any

 

way out except by suicide.

Daryl Brown, suicide survivor